Oleh : M. Shiddiq al-Jawi
Indonesia sejak Desember 2005 lalu dibuat geger dengan isu formalin pada makanan olahan. Puncaknya, pekan lalu BP
POM yang pertama kali melempar isu itu ke tengah masyarakat, kantornya meledak secara misterius.
Secara ekonomi, dampak isu formalin itu....
amat memprihatinkan. Tak sedikit penjual mi basah, bakso, tahu, ikan segar,
ikan asin, dan makanan olahan lain yang diisukan mengandung formalin mengalami penurunan omzet dan bahkan
banyak yang gulung tikar. Pak Rochadi (30/01/06), pengusaha Bakmi Kadin yang terkenal di Yogya mengatakan, â€oeOmzet
saya sampai anjlok 50 % gara-gara isu formalin ini.― Beliau cukup terpukul walaupun beliau sendiri sudah memberikan
jaminan.―Bakmi saya tidak pakai formalin dan borax― tegasnya.
Nampaknya opini umum yang terbentuk cukup mencekam sehingga hampir-hampir semua orang mengecam makanan
berformalin. Pokoknya semua yang pakai formalin, bahaya! Itulah opini yang tertancap kuat di masyarakat. Maka tak
heran MUI Surakarta melalui ketuanya H. Ahmad Slamet pun dengan sigap memfatwakan jika mengkonsumsi makanan
berformalin haram hukumnya (Radar Solo, 08/01/06). â€oeDalam ajaran Islam, makanan yang secara substansi halal tetapi
kecampuran yang membahayakan manusia hukumnya jadi haram. Termasuk dalam hal ini makanan yang mengandung
formalin dan boraks,― papar H. Ahmad Slamet (Radar Solo, 08/01/06).
Fakta Formalin
Formalin adalah nama dagang untuk larutan formaldehyde (CH2O) dalam air yang mengandung metanol 8-12 persen
sebagai stabilisator. Kadar formaldehyde tidak kurang dari 34 % dan tidak lebih dari 38 %. Di pasaran, formalin dapat
diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu larutan formaldehyde 40 %, 30 %, 20 %, dan 10 %. Ada juga dalam
bentuk tablet seberat 5 gram.
Formalin ini merupakan bahan yang biasanya digunakan untuk pembersih, antiseptik, pengontrol kecoa, pengawet kayu,
atau juga pengawet mayat. Dalam dunia industri ia digunakan untuk kayu lapis, plastik, kertas, cat, dan konstruksi.
Jika digunakan sebagai pengawet makanan dan masuk ke tubuh manusia, formalin bereaksi cepat dengan lapisan lendir
dan saluran pernapasan. Dalam tubuh formalin cepat teroksidasi membentuk asam format terutama pada hati dan sel
darah merah. Selanjutnya, masuknya formalin ke dalam tubuh ini bisa mengakibatkan keracunan.
Keracunan ini akan menimbulkan rasa sakit atau mual yang diikuti muntah-muntah. Timbul depresi susunan syaraf atau
kegagalan peredaran darah. Bahkan dalam dosis yang lebih tinggi, formalin dapat menimbulkan kejang, kencing darah,
tidak bisa kencing, muntah darah, dan sangat mungkin menimbulkan kematian. (â€oeLebih Baik Konsumsi Makanan
Berlabel―, Wawancara dengan Kepala Bidang Sertifikasi dan Pelayanan Informasi Konsumen BP POM DIJ, Dra Ari Astuti,
M.Kes, Apt; Radar Jogja, 08/01/06).
Konsumsi formalin dengan dosis 100 gram, mengakibatkan kematian dalam tiga jam. Sedang gejala keracunan biasanya
muncul 3-5 hari, seperti rasa mual, muntah-muntah, diare berlendir dan berdarah, kejang, bercak pada kulit, selaput
lendir terkelupas, dan kerusakan ginjal (Intelijen, No. 23/Th II/13-26 Januari 2006).
Penelitian WHO
Di tengah gencarnya pemberitaan sepihak seputar formalin, ada informasi alternatif yang perlu dipertimbangkan. Dr
Yuswanto, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Jogja menyatakan, formalin di makanan tidaklah
berbahaya. Yuswanto mendasarkan pada penelitian WHO, bahwa kandungan formalin yang membahayakan adalah
sebesar 6 (enam) gram. Pada kadar itulah baru terjadi toksifikasi (keracunan) atau pengaruh negatif. Padahal, menurut
penelitian Yuswanto, rata-rata kandungan formalin yang terdapat pada mi basah di pasar Jogja adalah 20 mg/kg mi.
Kadar ini menurutnya belum signifikan menimbulkan toksifikasi bagi tubuh manusia. Selain itu, kata Yuswanto, formalin
yang masuk ke tubuh manusia akan diurai dalam waktu 1,5 menit menjadi CO2. (Jawa Pos, 08/01/06).
The house of Khilafah1924.org
http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 1 October, 2007, 18:17
Yuswanto menyimpulkan, ada kesalahan informasi di masyarakat tentang bahaya formalin di mi basah, ikan segar, dan
ikan asin. Sebab baru dalam dosis besar, yaitu 6 gram, formalin akan menimbulkan efek negatif. Lagipula, ketika
memasuki pencernaan, formalin tidak akan berpengaruh negatif karena tubuh akan mengubah formalin menjadi CO2
–lalu dibuang lewat pernapasan— dan air seni dalam waktu 1,5 menit. (Jawa Pos, 08/01/06).
Bahkan, Yuswanto menambahkan, formalin juga dihasilkan secara alamiah. Daging sapi mengandung formalin kira-kira
30 mg per kg dan kerang laut mengandung formalin kira-kira 100 mg per kg (Jawa Pos, 08/01/06).
Informasi ini cukup menarik. Jika kandungan rata-rata formalin pada mi basah di Jogja sebesar 20 mg untuk 1 kg mi,
tentu masih sangat jauh dari batas yang bisa mengakibatkan keracunan menurut WHO, yakni sebesar 6 gram (6000
mg). Maka untuk sampai pada batas keracunan ini (6000 mg), berarti seseorang di Jogja harus mengkonsumsi 300 kg
mi, atau jika 1 kg setara dengan 10 porsi, ia harus makan sekitar 3000 porsi mi rebus atau mi goreng sekaligus…Gilee
bener.
Tinjauan Fiqih Islam
Dalam kacamata hukum Islam (fiqih), terdapat kaidah fiqih yang terkenal : ―al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid
dalil al-tahrim.― (Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya) (Yusuf
Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, hal. 14).
Atas dasar ini, semua benda misalnya hewan atau tumbuhan adalah halal dimakan atau dimanfaatkan, kecuali ada nash
tertentu yang menyatakan keharamannya. Misalnya saja bangkai, daging babi, atau darah (lihat QS Al-Maa`idah : 3).
Salah satu nash atau dalil yang mengharamkan suatu zat, adalah jika zat itu menimbulkan bahaya. Tapi dalam kasus
kasus formalin ini, bahaya yang ditimbulkan bersifat spesifik. Yaitu tidak muncul secara otomatis dari formalin itu sendiri
(berapa pun kadarnya), melainkan baru akan berbahaya jika sampai kadar tertentu (6 gram).
Jadi, timbulnya bahaya adalah jika mencapai kadar tertentu. Sebaliknya kalau kadar itu belum tercapai, bahaya itu
belum muncul.
Fakta ini dapat dihukumi secara tepat dengan kaidah fikih yang mengatakan, â€oeSetiap kasus dari suatu perbuatan/benda
yang mubah, jika berbahaya atau membawa pada bahaya, maka kasus itu saja yang haram, sedang hukum asalnya
tetap mubah.― Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw
mu`addiyan ila dharar hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-
Islamiyah, III/451).
Kaidah ini berarti, suatu masalah (berupa aktivitas manusia atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus
tertentu darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan. Sementara hukum
asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah,
mandi bisa berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri
tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita
hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing hukumnya haram.
Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.
Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW (Abdullah, 1996:141). Antara lain, Rasul SAW pernah melarang
para sahabat untuk meminum air dari sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air
tersebut secara spesifik berbahaya. Padahal air hukum asalnya adalah mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, IV/164).
Nah, jika kaidah ini diterapkan pada kasus formalin pada makanan saat ini, semestinya kita tidak gebyah uyah
(menggeneralisir) memfatwakan semua makanan berformalin adalah haram. Sebab hal ini tidak tepat dan tidak sesuai
dengan fakta yang ada.
The house of Khilafah1924.org
http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 1 October, 2007, 18:17
Yang lebih tepat adalah melakukan pemilahan atau klasifikasi hukum berdasarkan kadar formalin yang ada dalam
makanan, dikaitkan dengan bahaya yang ditimbulkannya. Jika kandungan formalin pada suatu makanan olahan
mencapai 6 gram, hukumnya haram. Tapi kalau belum mencapai 6 gram, hukumnya mubah, sesuai hukum asal benda.
Karena itu, mengomentari fatwa MUI Surakarta di atas, penulis dengan tetap rasa hormat menghimbau MUI Surakarta
untuk meninjau ulang fatwa tersebut.
Penulis tidak menyalahkan mutlak fatwa itu, namun penulis mengharap sebuah fatwa seharusnya tidaklah sekedar
mengikuti arus opini umum yang ada, melainkan wajib didasarkan pada pemahaman fakta yang teliti, di samping
didasarkan pada dalil syar’i yang sahih dan kuat.
Tentunya kita semua prihatin pada nasib para penjual mi ayam, bakso, ikan asin, dan lainnya yang notabene rakyat
miskin nan melarat. Mereka belum lepas dari beban berat akibat naiknya BBM, apalagi TDL juga mau naik. Pasti mereka
makin sengsara. Kondisi ini tentu tidak bijaksana kalau â€oedisempurnakan― dengan sebuah fatwa yang makin memojokkan
dan menyudutkan mereka. Wallahu aâlam. [ ]
Indonesia sejak Desember 2005 lalu dibuat geger dengan isu formalin pada makanan olahan. Puncaknya, pekan lalu BP
POM yang pertama kali melempar isu itu ke tengah masyarakat, kantornya meledak secara misterius.
Secara ekonomi, dampak isu formalin itu....
amat memprihatinkan. Tak sedikit penjual mi basah, bakso, tahu, ikan segar,
ikan asin, dan makanan olahan lain yang diisukan mengandung formalin mengalami penurunan omzet dan bahkan
banyak yang gulung tikar. Pak Rochadi (30/01/06), pengusaha Bakmi Kadin yang terkenal di Yogya mengatakan, â€oeOmzet
saya sampai anjlok 50 % gara-gara isu formalin ini.― Beliau cukup terpukul walaupun beliau sendiri sudah memberikan
jaminan.―Bakmi saya tidak pakai formalin dan borax― tegasnya.
Nampaknya opini umum yang terbentuk cukup mencekam sehingga hampir-hampir semua orang mengecam makanan
berformalin. Pokoknya semua yang pakai formalin, bahaya! Itulah opini yang tertancap kuat di masyarakat. Maka tak
heran MUI Surakarta melalui ketuanya H. Ahmad Slamet pun dengan sigap memfatwakan jika mengkonsumsi makanan
berformalin haram hukumnya (Radar Solo, 08/01/06). â€oeDalam ajaran Islam, makanan yang secara substansi halal tetapi
kecampuran yang membahayakan manusia hukumnya jadi haram. Termasuk dalam hal ini makanan yang mengandung
formalin dan boraks,― papar H. Ahmad Slamet (Radar Solo, 08/01/06).
Fakta Formalin
Formalin adalah nama dagang untuk larutan formaldehyde (CH2O) dalam air yang mengandung metanol 8-12 persen
sebagai stabilisator. Kadar formaldehyde tidak kurang dari 34 % dan tidak lebih dari 38 %. Di pasaran, formalin dapat
diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu larutan formaldehyde 40 %, 30 %, 20 %, dan 10 %. Ada juga dalam
bentuk tablet seberat 5 gram.
Formalin ini merupakan bahan yang biasanya digunakan untuk pembersih, antiseptik, pengontrol kecoa, pengawet kayu,
atau juga pengawet mayat. Dalam dunia industri ia digunakan untuk kayu lapis, plastik, kertas, cat, dan konstruksi.
Jika digunakan sebagai pengawet makanan dan masuk ke tubuh manusia, formalin bereaksi cepat dengan lapisan lendir
dan saluran pernapasan. Dalam tubuh formalin cepat teroksidasi membentuk asam format terutama pada hati dan sel
darah merah. Selanjutnya, masuknya formalin ke dalam tubuh ini bisa mengakibatkan keracunan.
Keracunan ini akan menimbulkan rasa sakit atau mual yang diikuti muntah-muntah. Timbul depresi susunan syaraf atau
kegagalan peredaran darah. Bahkan dalam dosis yang lebih tinggi, formalin dapat menimbulkan kejang, kencing darah,
tidak bisa kencing, muntah darah, dan sangat mungkin menimbulkan kematian. (â€oeLebih Baik Konsumsi Makanan
Berlabel―, Wawancara dengan Kepala Bidang Sertifikasi dan Pelayanan Informasi Konsumen BP POM DIJ, Dra Ari Astuti,
M.Kes, Apt; Radar Jogja, 08/01/06).
Konsumsi formalin dengan dosis 100 gram, mengakibatkan kematian dalam tiga jam. Sedang gejala keracunan biasanya
muncul 3-5 hari, seperti rasa mual, muntah-muntah, diare berlendir dan berdarah, kejang, bercak pada kulit, selaput
lendir terkelupas, dan kerusakan ginjal (Intelijen, No. 23/Th II/13-26 Januari 2006).
Penelitian WHO
Di tengah gencarnya pemberitaan sepihak seputar formalin, ada informasi alternatif yang perlu dipertimbangkan. Dr
Yuswanto, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Jogja menyatakan, formalin di makanan tidaklah
berbahaya. Yuswanto mendasarkan pada penelitian WHO, bahwa kandungan formalin yang membahayakan adalah
sebesar 6 (enam) gram. Pada kadar itulah baru terjadi toksifikasi (keracunan) atau pengaruh negatif. Padahal, menurut
penelitian Yuswanto, rata-rata kandungan formalin yang terdapat pada mi basah di pasar Jogja adalah 20 mg/kg mi.
Kadar ini menurutnya belum signifikan menimbulkan toksifikasi bagi tubuh manusia. Selain itu, kata Yuswanto, formalin
yang masuk ke tubuh manusia akan diurai dalam waktu 1,5 menit menjadi CO2. (Jawa Pos, 08/01/06).
The house of Khilafah1924.org
http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 1 October, 2007, 18:17
Yuswanto menyimpulkan, ada kesalahan informasi di masyarakat tentang bahaya formalin di mi basah, ikan segar, dan
ikan asin. Sebab baru dalam dosis besar, yaitu 6 gram, formalin akan menimbulkan efek negatif. Lagipula, ketika
memasuki pencernaan, formalin tidak akan berpengaruh negatif karena tubuh akan mengubah formalin menjadi CO2
–lalu dibuang lewat pernapasan— dan air seni dalam waktu 1,5 menit. (Jawa Pos, 08/01/06).
Bahkan, Yuswanto menambahkan, formalin juga dihasilkan secara alamiah. Daging sapi mengandung formalin kira-kira
30 mg per kg dan kerang laut mengandung formalin kira-kira 100 mg per kg (Jawa Pos, 08/01/06).
Informasi ini cukup menarik. Jika kandungan rata-rata formalin pada mi basah di Jogja sebesar 20 mg untuk 1 kg mi,
tentu masih sangat jauh dari batas yang bisa mengakibatkan keracunan menurut WHO, yakni sebesar 6 gram (6000
mg). Maka untuk sampai pada batas keracunan ini (6000 mg), berarti seseorang di Jogja harus mengkonsumsi 300 kg
mi, atau jika 1 kg setara dengan 10 porsi, ia harus makan sekitar 3000 porsi mi rebus atau mi goreng sekaligus…Gilee
bener.
Tinjauan Fiqih Islam
Dalam kacamata hukum Islam (fiqih), terdapat kaidah fiqih yang terkenal : ―al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid
dalil al-tahrim.― (Hukum asal benda adalah mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya) (Yusuf
Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, hal. 14).
Atas dasar ini, semua benda misalnya hewan atau tumbuhan adalah halal dimakan atau dimanfaatkan, kecuali ada nash
tertentu yang menyatakan keharamannya. Misalnya saja bangkai, daging babi, atau darah (lihat QS Al-Maa`idah : 3).
Salah satu nash atau dalil yang mengharamkan suatu zat, adalah jika zat itu menimbulkan bahaya. Tapi dalam kasus
kasus formalin ini, bahaya yang ditimbulkan bersifat spesifik. Yaitu tidak muncul secara otomatis dari formalin itu sendiri
(berapa pun kadarnya), melainkan baru akan berbahaya jika sampai kadar tertentu (6 gram).
Jadi, timbulnya bahaya adalah jika mencapai kadar tertentu. Sebaliknya kalau kadar itu belum tercapai, bahaya itu
belum muncul.
Fakta ini dapat dihukumi secara tepat dengan kaidah fikih yang mengatakan, â€oeSetiap kasus dari suatu perbuatan/benda
yang mubah, jika berbahaya atau membawa pada bahaya, maka kasus itu saja yang haram, sedang hukum asalnya
tetap mubah.― Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw
mu`addiyan ila dharar hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-
Islamiyah, III/451).
Kaidah ini berarti, suatu masalah (berupa aktivitas manusia atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus
tertentu darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan. Sementara hukum
asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah,
mandi bisa berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri
tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita
hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing hukumnya haram.
Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.
Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW (Abdullah, 1996:141). Antara lain, Rasul SAW pernah melarang
para sahabat untuk meminum air dari sumber air di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air
tersebut secara spesifik berbahaya. Padahal air hukum asalnya adalah mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, IV/164).
Nah, jika kaidah ini diterapkan pada kasus formalin pada makanan saat ini, semestinya kita tidak gebyah uyah
(menggeneralisir) memfatwakan semua makanan berformalin adalah haram. Sebab hal ini tidak tepat dan tidak sesuai
dengan fakta yang ada.
The house of Khilafah1924.org
http://www.khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 1 October, 2007, 18:17
Yang lebih tepat adalah melakukan pemilahan atau klasifikasi hukum berdasarkan kadar formalin yang ada dalam
makanan, dikaitkan dengan bahaya yang ditimbulkannya. Jika kandungan formalin pada suatu makanan olahan
mencapai 6 gram, hukumnya haram. Tapi kalau belum mencapai 6 gram, hukumnya mubah, sesuai hukum asal benda.
Karena itu, mengomentari fatwa MUI Surakarta di atas, penulis dengan tetap rasa hormat menghimbau MUI Surakarta
untuk meninjau ulang fatwa tersebut.
Penulis tidak menyalahkan mutlak fatwa itu, namun penulis mengharap sebuah fatwa seharusnya tidaklah sekedar
mengikuti arus opini umum yang ada, melainkan wajib didasarkan pada pemahaman fakta yang teliti, di samping
didasarkan pada dalil syar’i yang sahih dan kuat.
Tentunya kita semua prihatin pada nasib para penjual mi ayam, bakso, ikan asin, dan lainnya yang notabene rakyat
miskin nan melarat. Mereka belum lepas dari beban berat akibat naiknya BBM, apalagi TDL juga mau naik. Pasti mereka
makin sengsara. Kondisi ini tentu tidak bijaksana kalau â€oedisempurnakan― dengan sebuah fatwa yang makin memojokkan
dan menyudutkan mereka. Wallahu aâlam. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar